Jenis angkutan ini muncul sekitar tahun 60an dilingkungan pelabuhan Tanjung Priok, dengan sepeda ontel mereka mengantar penumpang masuk atau keluar pelabuhan, dengan ongkos yang relatif murah karena tidak memerlukan BBM dan pelumas, cukup dengan sarapan pagi seadanya di Warteg (Warung Tegal) yang terkenal murah meriah. Seiring perkembangan jaman ojeg sepeda ontel tergusur oleh ojeg sepeda motor, penumpang lebih memilih menggunakan ojeg sepeda motor karena waktu tempuh lebih cepat, kecuali bagi mereka yang mau bernostalgia, ojeg sepeda ontel masih bisa ditemui disekitar pelabuhan Tanjung Priok.
Lain lagi dengan pemandangan pada foto yang saya tayangkan diposting ini, seorang kakek yang sudah sepuh, usianya antara 70-80 tahun masih bergelut dengan perahu dayung untuk mengais rejeki dengan “ojeg perahu dayung” nya di pelabuhan Sunda Kelapa. Setiap hari dia melayani jasa angkutan perahu, untuk menyeberangkan penumpang didermaga pelabuhan dengan ongkos yang sangat murah. Cukup dengan uang sebesar Rp. 2.000,- per orang untuk sekali menyeberang dari pinggir dermaga keseberang berikutnya.
Lelaki sepuh ini tidak neko-neko dan tidak muluk-muluk harapannya, dengan usianya yang sudah lanjut dia selalu bersyukur atas rejeki yang ia terima. Dia tidak terpengaruh dan tidak ikut-ikutan perpolitik, tidak berdemo bahkan tidak pernah memasalahkan siapa presiden dan mentrinya, yang penting dapurnya setiap hari bisa ngebul anak, cucu dan istrinya bisa makan kenyang, sederhana sekali ya.
Siapa berani hidup sederhana seperti kakek “ojeg perahu dayung” ?