Rabu, 08 Juni 2011

NGLONJO DARI WINGKO KE PURWODADI

Sewaktu saya masih duduk dibangku SMP Bhakti Mulia Purwodadi tahun 1966, banyak kenangan baik kenangan manis maupun kenangan pahit. Saya setiap hari berkendaraan sepeda ontel egrek-egrek dengan kedua ban depan dan belakang yang sudah kampasan, sepeda tersebut dengan setia menemani perjalanan saya dati Wingko ke Purwodadi pulang pergi selama hampir dua tahun.

Ada kenangan pahit yang tidak dapat terlupakan pada saat harga minyak tanah mahal, saya mendapat tugas tambahan dari Pakde yang saya ‘dereki’ sepulang sekolah dari Purwodadi saya disuruh mampir beli minyak tanah diagen dekat Pasar Jenar, berbekal wadah jerigen bekas oli yang sudah karatan saya beli minyak tanah sebanyak 4 liter. Jerigen isi 4 liter saya gantungkan di stang sepeda, pada saat itu saya giliran masuk siang hari, pada perjalanan dari Jenar ke Wingko sore itu cuaca sudah mulai gelap. Jalannya masih kricak belum diaspal, begitu sepeda kegreol batu besar jerigen minyak kepentok andang sepeda dan jerigen mendadak bocor, minyak mengalir keluar dari jerigen.

Saya bingung mau ditambal pakai apa wong ditengah bulak dan saat itu musim kemarau, lempung dan sabun batanganpun tidak mungkin ada. Saya mencoba menutup kebocoran itu dengan jari tangan dan terpaksa sepeda saya tuntun perlahan-lahan. Rasanya jari semakin ‘keju’ dan tidak tahan lagi menahan kebocoran jerigen, suasana semakin gelap karena menjelang magrib.

Perjalanan dari Jenar sampai Wingko terasa semakin jauh karena terbebani dengan rasa bersalah dan tanggung jawab serta takut dimarahi Pakde saya. Akhirnya perjalanan pulang sampai dirumah sekitar jam setengah tujuh malam, baju seragam sekolah basah dengan keringat, perut rasanya sudah lengket karena menahan lapar dan stress. Untung Pakde saya memaklummi dan apa yang terjadi, kejadian ini bisa dimaklumi dan saya tidak mendapat amarah dari Pakde.

“NGLONJO” adalah perjalanan dengan naik sepeda dari Wingko ke Purwodadi merupakan perjuangan dalam menuntut ilmu. Resiko kepanasan dan kehujanan bahkan petir melalui Ngangkruk Ketip menjadi terbiasa walau tempat tersebut sering terjadi tindak kejahatan berupa rampok dan begal, saat itu saya tidak pernah merasa takut. Setelah berjalan hampir dua tahun saya merasa terbebani dengan perjalanan NGLONJO. Akhirnya saya memutuskan pindah ke SMP yang lebih dekat, saya pindah ke SMP Mahaenis di Wunut sampai tamat walaupun tetap nglonjo juga tetapi tidak terlalu jauh.

Masih teringat beberapa guru dan murid di SMP Bhakti Mulia Purwodadi antara lain : Kepala Sekolah saat itu Pak Untung Suparno, Pastor Thomas dan Pastor Nero pengajar agama katolik dengan speda motornya merk NSU yang ‘nglonjo’ juga dari Purworejo, Ibu Sri Mulat guru Bahasa Inggris yang pinjam kamus bahasa inggris saya sampai sekarang lupa membalikan, Pak Suparjo guru olah raga yang sepatunya paling cepat rusak dan boros terutama bagian tungkaknya. Adapun teman seangkatan yang masih saya ingat : Sukotjo dari Kembang Kuning, Heruwati dan Sugondo dari Jenar Lor, Sartono, Sujadi dari Krendetan dan Sunaji dari Wingkoharjo.

Lengkap sudah kenangan saya ‘nglonjo’ dari Wingko ke Purwodadi yang berakhir dengan kelulusan saya di SMP Marhaenis Wunut. Sungguh kenangan ini tak akan terlupakan sampai diakhir hayatku.