Selasa, 27 Mei 2008

Ngepit

Dari asal kata Pit yang dalam bahasa Jawanya adalah "sepeda/ sepeda ontel". Ngepit berarti bersepeda ria, bisa juga kepasar, berkeliling kota atau barangkali kesekolah bahkan kuliah, aktifitas ini lumrah dilakoni diera tahun enam puluhan.

Sepeda merupakan alat transportasi yang sangat murah, sehat dan bebas polusi. Dengan perkembangan tehnologi otomotif yang sangat pesat sepeda mulai tergeser dari moda transportasi, andaikata saat ini ada yang menggunakan hanya sekedar untuk sarana olah raga, itupun kalau lagi "ungsum" (musiman) pada event-event tertentu.

Tergesernya pit/ sepeda ini karena saking mudahnya mendapatkan sepeda motor khususnya sepeda motor buatan Jepang, hanya dengan uang muka 500 ribuan, foto copy KTP dan kartu keluarga yang dilampiri rekening listrik rumah kontrakan/ tetangga sebagai persyaratan, sudah dapat memperoleh sepeda motor baru dengan pembayaran secara mecicil... eh memcicil alias angsuran bin kridit. Sekedar diketahui di Jakarta kepemilikan jutaan sepeda motor 80% adalah kreditan selebihnya cash.

Kembali keera tahun enam puluhan, memiliki pit/ sepeda bermerk seperti Gazelle, Batavus, Philip atau Humber apalagi dengan kelengkapan tromol dan presneling merupakan simbul keberadaan pemiliknya. Dengan busana kemeja bahan berkulin atau nylon, celana drill atau tetrex yang diseterika licin waduuh...... kayanya nggaya banget deh.

Cari pacar atau yaang... sudah pasti, apalagi tiba saatnya hari raya Idul Fitri, kantong isinya tebal, dunia rasanya jadi miliknya, yang lain.... nunut. Kepala rasanya tambah gede tur nggembeleng. Kalau nggak percaya tanya Mas Indro atau Mas Paromo Suko.

Ngepit yook.....


Jumat, 23 Mei 2008

Pemimpin

Pemimpin adalah orang yang dipercaya dan dianggap mempunyai kemampuan untuk mengelola organisasi atau kelompok, sehingga posisi ini sering dijadikan ajang rebutan bagi orang-orang yang merasa dirinya mampu dan memenuhi persyaratan. Padahal yang dapat menilai seseorang mampu atau tidak mampu menjadi pemimpin adalah masyarakat umum dan bukan suatu kelompok atau golongan. Jaman sekarang sangatlah sulit mencari pemimpin, apalagi pemimpin yang jujur.

Melalui kampanye seorang calon pemimpin menjual program dengan janji-janji yang indah, segala sesuatu mudah dan murah bahkan gratis, nyatanya setelah terpilih mereka lupa akan janjinya dengan program yang dulu mereka tawarkan. Sudah saatnya sekarang kita harus selektif memilih seorang pemimpin, apalagi dalam sebuah Pilkada, sekali keliru menentukan pilihan selama lima tahun akan menyesal dan kecewa. Pilihlah seorang pemimpin yang jujur dan benar!!

Sebuah ramalan yang pernah saya dengar, bahwa nanti pada saatnya akan datang seorang "Ratu Adil" diibaratkan sebagai seorang satria piningit, akan menjadi seorang pemimpin bijaksana yang akan mengantar masyarakat kedalam suasana gemah ripah loh jinawi serta adil makmur. Kapan hal ini akan terjadi?






Selasa, 20 Mei 2008

Nyarap


Saya teringat seorang teman kantor yang berasal dari Purwodadi Grobogan, secara kebetulan memperoleh pendamping hidup asli dari Kebumen. Berawal dari dua daerah asal yang berbeda, tentu ada beberapa perbedaan termasuk adat istiadat dan bahasa sehari-hari.

Saat mereka berdua pulang kampung ketempat istrinya di Kebumen, ada ceritera kecil yang menggelitik akibat dari perbedaan bahasa antara Purwodadi dan Kebumen. Begini ceriteranya : Setiap menawarkan makan sang mertua selalu mengatakan "Mangga nyarap" tentunya dengan logat Kebumen yang kental ( makan pagi, siang dan makan malam selalu dikatakan "nyarap" ) Akhirnya sang suami berseloroh kepada istrinya, Ma... kalau lama-lama disini saya bisa kurus Ma..., istrinya balik bertanya dengan garang, lho memangnya disini nggak dikasih makan? yang barusan makan siapa? Istrinya nyerocos terus sembari ngomel. Sang suami dengan enteng menjawab : Sudah dua hari saya tidak ditawari makan, Bapak/ Ibu mertua selalu bilang "Mangga nyarap mas!"

Istrinya baru nyadar kalau "Nyarap" ditempat asal suaminya juga didaerah lain berarti belum makan. Mengetahui pokok permasalahannya sang istri menyampaikan kepada orang tuanya nanti kalau nawari makan mantunya jangan bilang mangga nyarap, tapi mangga dahar.

Gitu aja kok repot... Nyarapnya Mas Indro paling tidak nasi goreng, lha nyarapnya Mbah Suro apa? He.. He.. He.. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya.




Senin, 19 Mei 2008

Lampu Sentir

Saya masih ingat betul ditahun 60 puluhan (ceritane mbah Suro selalu jadul) ditanah kelahiran saya lampu Petromax merupakan barang mewah, hanya orang mampu saja yang bisa memiliki lampu tersebut, itupun tidak setiap malam menyalakan lampu Petromax, hanya pada malam tertentu alasannya supaya awet dan hemat.

Bagi orang kebanyakan dan golongan "elit" (ekonomi sulit) setiap malam cukup menggunakan lampu sentiir untuk penerangan rumah, lampu sentir (lampu minyak tanah) biasanya dibuat sendiri dengan menggunakan bahan bekas umumnya dari bekas kaleng lem merk "KKK" dan pentil ban sepeda bekas pula yang dirakit sedemikian rupa sehingga menjadi lampu minyak tanah yang sangat membantu untuk penerangan pada malam hari.

Kebiasaan belajar bersama khususnya murid kelas VI SR, lampu sentir menjadi sangat penting apalagi menjelang ulangan umum dan ujian, walaupun hanya dengan lampu penerangan yang sangat sederhana, semangat belajar mereka luar biasa, dengan kesadaran yang tinggi tanpa ada paksaan dari guru dan orang tua. Akibat menggunakan lampu sentir untuk penerangan belajar biasanya lubang hidung berwarna hitam karena zat carbon yang terhisap. (Seperti Knalpot)

Guru kelas secara sembunyi dan diam-diam selalu memonitor pada setiap kelompok belajar, sehingga kalau ada salah satu murid yang tidak serius dalam belajar kelompok misalnya sambil guyon pasti esok hari kena teguran karena ketahuan, guru sekarang mana sempat?

Itulah semangat belajar murid-murid jaman dulu. Bagaimana supaya anak cucu kita punya semangat belajar yang tinggi ? Selama hayat dikandung badan kita terus belajar. Monggo dikomentari.........





Sabtu, 17 Mei 2008

Polisi Jujur

Pak Hoegeng dalam Kenangan

Ditulis oleh : Chris Siner Key Timu ( Sumber dari Indonesia Media Online Agustus 2004 )

Bangsa, masyarakat, dan negara kehilangan seorang tokoh panutan, seorang yang senantiasa hidup dalam kejujuran, sekaligus sebagai simbol bagi kejujuran yang hidup. Almarhum bukan hanya menjadi simbol kejujuran bagi kepolisian, tetapi juga bagi seluruh jajaran birokrasi, bahkan simbol kejujuran bagi seluruh masyarakat. Pak Hoegeng berhenti dari jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya berlangsung tiga tahun. Diberhentikan oleh Presiden Soeharto di tahun 1970 karena Pak Hoegeng jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi.

Seperti yang diceritakan oleh almarhum kepada rekan- rekannya di Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh, bermula dari rencananya untuk menangkap seorang penyelundup besar, yang datanya di Mabes Polri sudah memadai untuk ditahan. Hanya karena sang penyelundup tersebut diketahui punya backing dari Cendana, almarhum ingin menyampaikan penangkapan tersebut kepada Presiden Soeharto.

Yang membuatnya kaget adalah ketika Pak Hoegeng sampai di Cendana, orang yang direncanakan akan ditangkap oleh kepolisian itu ternyata sedang berbincang- bincang dengan Soeharto. Seperti yang dikatakannya, sejak itu Pak Hoegeng sekuku hitam pun tidak percaya lagi kepada Soeharto.

Rupanya peristiwa itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kepala Polri oleh Presiden Soeharto. Alasan yang dikemukakan oleh Soeharto adalah untuk regenerasi. Namun, yang kemudian membuat Pak Hoegeng merasa aneh ialah ketika menanyakan siapa yang akan menggantikannya, Soeharto mengatakan Mohammad Hassan. Secara spontan Pak Hoegeng mengatakan kepada Soeharto bahwa usia Mohammad Hassan lebih tua darinya, hanya untuk menunjukkan bahwa alasan regenerasi itu hanyalah dibuat-buat. Alasan sesungguhnya adalah Soeharto ingin menyingkirkan seorang Kepala Polri yang jujur.

Setelah berhenti sebagai Kepala Polri, Pak Hoegeng kembali ke tengah masyarakat. Tawaran untuk menjadi duta besar di salah satu negara Eropa ditolaknya secara halus, dengan kata-kata dia tak mampu berbasa-basi, salah satu "keterampilan" yang perlu dimiliki oleh seorang duta besar. Padahal, sudah menjadi kebiasaan di zaman Orde Baru, seseorang yang berhenti dari jabatan tinggi ditawarkan untuk menjadi duta besar atau presiden komisaris salah satu perusahaan negara.

Guna mengisi kesibukan dalam masa pensiun, Pak Hoegeng menyalurkan hobi menyanyinya di TVRI melalui kelompok Hawaian Seniors. Namun, dalam perjalanan waktu, hobi ini pun harus dihentikan karena ada larangan dari yang berwenang. Alasan yang melatarbelakangi adalah karena sejak Juni 1978 Pak Hoegeng bergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang didirikan atas inisiatif AH Nasution dengan penasihat proklamator dan wakil presiden pertama RI, Mohammad Hatta. LKB didirikan sebagai salah satu usaha untuk melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan atas dasar konstitusi.

Sejak itu sampai akhir hayatnya Pak Hoegeng harus meninggalkan hobi itu, apalagi sejak Mei 1980 Pak Hoegeng bergabung dalam kelompok lima puluh warganegara RI yang menandatangani "Pernyataan Keprihatinan" terhadap cara penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan Soeharto, yang kemudian populer sebagai "Petisi Lima Puluh". Ikut menandatangani Pernyataan Keprihatinan antara lain Mohammad Natsir, AH Nasution, Syafruddin Prawiranegara, H Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, SK Trimurti, Manai Sophian, Ny D Wallandouw. Juga dari kalangan yang lebih muda usia seperti mantan aktivis dewan mahasiswa dan organisasi ekstrauniversitas.

Sejak itu, Pak Hoegeng terlibat aktif dalam "Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh", yaitu suatu lembaga kajian tentang masalah kehidupan bangsa dan negara yang didirikan Yayasan LKB. Pertemuan mingguan Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh berlangsung di kediaman Ali Sadikin, yang juga masuk dalam Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh, di Jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat. Sebagai anggota Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh, Pak Hoegeng selama mengikuti pertemuan mingguan dengan penuh kesungguhan. Dalam pertemuan tidak banyak bicara, tetapi jika sudah ada kesepakatan atas suatu keputusan dan jika harus ikut menandatangani sesuatu pernyataan atau memorandum tentang keadaan bangsa dan negara, Pak Hoegeng tanpa komentar menandatanganinya.

Pak Hoegeng selalu disiplin dalam waktu. Kebiasaan beliau adalah datang paling pertama ke tempat pertemuan mendahului yang lain. Tidak jarang jika tidak ada mobil yang mengantarkan ke tempat pertemuan, Pak Hoegeng datang dari rumahnya di Jalan Prof Moh Yamin ke Jalan Borobudur dengan menggunakan bajaj.

Sampai akhir hayatnya, Pak Hoegeng masih tetap sebagai anggota Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh, kendati karena kesehatannya Pak Hoegeng jarang mengikuti pertemuan selama dua tahun terakhir.

Banyak hal yang dituturkan Pak Hoegeng pada kawan-kawan di Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh sangat berkesan dan patut untuk disosialisasikan kepada masyarakat, khususnya untuk generasi muda, terutama dalam upaya untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, serta dalam upaya membangun suatu pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Ketika Presiden Soekarno menunjuk Pak Hoegeng menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi, sehari sebelum pelantikannya Pak Hoegeng meminta Ibu Merry (istri Pak Hoegeng) untuk menutup toko kembang, usaha ibu Merry di Jalan Cikini untuk menambah pendapatan sehari-hari. Alasannya, karena keesokan harinya akan dilantik menjadi Dirjen Imigrasi.

Ketika ibu Merry menanyakan apa hubungan antara jabatan Dirjen Imigrasi dan toko kembangnya, Pak Hoegeng menjawab singkat, "Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya." Ibu Merry pun memahami dan menutup toko kembangnya.

Karena dikaryakan dari kepolisian ke Imigrasi, Pak Hoegeng membawa juga sebuah mobil jip dinas untuk tugasnya nanti sebagai Dirjen Imigrasi. Ketika Sekretariat Negara (Setneg) memberinya lagi satu mobil dinas, Pak Hoegeng menolak dengan alasan dia hanya membutuhkan satu mobil dinas untuk tugasnya, dan jip yang dia bawa dari kepolisian adalah juga milik negara sehingga itu sudah cukup baginya.

Ketika menjadi Menteri Iuran Negara, oleh Sekneg diminta untuk pindah dari rumah di Jalan Prof Moh Yamin ke rumah yang berlokasi di Jalan Protokol, juga ditolak Pak Hoegeng dengan alasan rumah yang ditempatinya sudah cukup representatif dan negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya. Katanya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan fasilitas yang bukan-bukan.

Pengabdian yang penuh dari Pak Hoegeng tentu membawa konsekuensi bagi hidupnya sehari-hari. Pernah dituturkannya sekali waktu, setelah berhenti dari Kepala Polri dan pensiunnya masih diproses, suatu waktu dia tidak tahu apa yang masih dapat dimakan oleh keluarga karena di rumah sudah kehabisan beras. Di pagi keesokan harinya ternyata ada yang mengantarkan beras dan kebutuhan lain ke rumahnya. Ternyata itu adalah kiriman dari almarhumah ibu Nani Sadikin, istri Pak H Ali Sadikin.

Itulah sekadar beberapa catatan kenangan untuk Pak Hoegeng yang sudah meninggalkan kita. Seorang yang hidupnya senantiasa jujur, seorang yang menjadi simbol bagi hidup jujur, dan simbol bagi kejujuran yang hidup. Ada guyonan di masyarakat tentang kejujuran seorang Hoegeng bahwa "hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Polisi Hoegeng dan polisi tidur".
Selamat jalan Pak Hoegeng. Contoh hidupmu tidak akan sia-sia.







Kamis, 15 Mei 2008

Korps Musik Tertua

Dibanding dengan Korps Musik sejenis, Korps Musik Dinas Pemadam Kebakaran termasuk yang tertua di Indonesia, berbagai acara telah diikuti, mulai dari acara yang ada dilingkungan Pemprop DKI Jakarta sampai acara kenegaraan hingga event-event internasional yang berlangsung di Indonesia, seperti Asean Games.

Pada awalnya Korps Musik ini dibentuk hanya sebagai penyalur hoby saja. Namun dalam perjalanan waktu dari sekedar hoby akhirnya menjadi Korps Musik yang dipakai untuk memberi semangat kepada Anggota Pemadam Kebakaran.

Tahun 1932 saat itu Dinas Pemadam Kebakaran masih bernama Brandweer Gemente Batavia dibawah pimpinan Bruickhuisen yang orang Belanda, melihat banyak potensi anggota pemadam kebakaran yang mampu memainkan alat musik tiup dari bambu. Hal ini tidak mengherankan, karena hampir sebagian besar anggota pemadam kebakaran waktu itu kebanyakan berasal dari daerah Manado, Selawesi Utara.
Bermodal keinginan kuat dari Bruickhuisen dimulailah penyediaan sarana peralatannya. Pembelian instrumen musik, khususnya musik tiup, tidak tanggung-tanggung peralatan musik didatangkan dari Amsterdam, Belanda. Hebatnya lagi dana pembelian berasal dari swadaya para anggota pemadam kebakaran yang punya hoby musik.

Sebagaimana tertulis pada buku Brandweer Batavia karangan GH Winokan, pada tanggal 27 Desember 1945 untuk pertama kalinya Korps Musik ini tampil pada acara kenegaraan yakni pada saat penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dari Pemerintah Belanda. Saat itu Korps musik Pemadam Kebakaran mengiringi acara penurunan bendera Belanda serta pengibaran bendera Republik Indonesia.

Pada tanggal 28 Desember 1949 Korps Musik Pemadam Kebakaran diminta oleh Pemerintah RI, untuk tampil pada acara penyambutan kedatangan Presiden RI Bung Karno yang baru tiba dari Yogyakarta dengan memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya, penampilan ini sempat membuat Bung Karno terkesan, hingga beliau berkenan menghampiri dan memberikan perhatian kepada Korps Musik Pemadam Kebakaran yang dikomandani oleh Bapak A. Lala.

Dalam perjalanan waktu Korps Musik Pemadam Kebakaran pernah tampil dalam acara peringatan hari proklamasi di Istana Merdeka, pembukaan Asean Games tahun 1962 dan Ganefo tahun 1963. Sampai saat ini Korps Musik Pemadam Kebakaran DKI Jakarta masih berjaya. Semoga bukan karena menjadi Korps Musik tertua sehingga anggotanya harus tua juga. Bravo Pemadam Kebakaran...... "Pantang Pulang Sebelum Padam"



Rabu, 14 Mei 2008

Binatang Aneh


Dalam dunia pewayangan ada wayang yang berkepala kerbau, kuda dan kepala binatang lainnya. Lha kalau burung berkepala anjing gek arep dijenengi opo yo? Terserah mau diberi nama apa. Aya-aya wae Mbah Suro lagi kurang kerjaan....

Siap

Buku berhitung karangan Hutagalung pada tahun enam puluhan merupakan buku wajib dan buku panduan Sekolah Rakyat VI tahun khususnya bagi mereka yang duduk di kelas terakhir. Bagi murid yang menguasai dan mampu mengerjakan soal-soal didalam buku tersebut sudah dipastikan akan lulus ujian dalam mata pelajaran berhitung. (Jaman sekarang matimatian eh... matematika)

Akhir dari suatu kehidupan adalah kematian, siapakah diantaranya yang sudah ""siap" untuk mati? Lho Ceriteranya kok nggak nyuuaambung ya... dari mata pelajaran berhitung lantas cerita tentang kematian. Begini lanjut ceritaku, sekitar 15 tahun yang lalu Ibuku dan bibi dari ibuku sepakat telah menyiapkan sepasang liang kubur dikampung halaman tepatnya didesa Wingkomulyo ( Purworejo) satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk bibinya, aku dan adik-adikku merasa ada yang aneh lha wong masih seger buger kok kepingin mati. Disamping menyiapkan kuburan beliau juga menabung untuk biaya pemakaman kelak.

Menjelang kematiannya, ibuku mengalami sakit selama hampir setengah tahun, setiap mendengar kabar kematian baik saudara atau tetangga yang usianya lebih muda, beliau selalu bilang : Kok dia yang masih muda sudah dipanggil? mestinya aku saja, begitu yang selalu beliau ucapkan.

Singkat cerita pada tanggal 23 Desember 2007 ibuku dipanggil oleh Allah SWT dengan tenang dan damai dalam usia 82 tahun, dan apa yang sudah dipersiapkan oleh beliau baik adanya, beliau benar-benar telah siap dipanggil Tuhan kapan saja dan dimana saja. Aku dan adik-adikku baru menyadari bahwa ibuku sungguh telah siap secara lahir dan bathin menghadapi kematian dan tidak mau merepotkan anak-anaknya.

Bagaimana dengan keadaan bibinya? Bibi dari Ibuku usianya sekitar 90 tahun saat ini dalam keadaan sakit tua di Wingko (Purworejo). Dua tahun lalu aku sempat mengunjungi, kala itu beliau ngendiko : "Su... aku wingi wis arep mati kok ra sido" (Beliau mengatakan kalau kemarin sudah mau meninggal tapi nggak jadi) beliau kalau panggil namaku cukup nama depanku saja "Su"

Akhirnya kita semua ditantang "siapkah kita mati setiap saat" ? Siap Komandan..... asal tidak mati mendadak dan sia-sia.
Padahal takut mati juga karena masih berdosa dan belum sepenuhnya bertobat.
Hi.... Hi.... Hi.... apalagi kalo matinya jadi Hantu.....

Minggu, 11 Mei 2008

Taat

Pertumbuhan kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua di Jakarta sangat pesat, sehingga lalu lintas diibukota ini sangat padat dan semrawut. Mobilitas masyarakat ibukota yang perlu waktu tempuh cepat terkendala dengan kemacetan lalu lintas sepanjang waktu, terlebih pada jam-jam sibuk berangkat dan pulang kantor.

Untuk mengatasi kepadatan lalu-lintas dan kemacetan diibukota, Pemda DKI Jakarta bersama Polda Metro Jaya berupaya dengan berbagai peraturan, diantaranya bagi penggunaan kendaraan pada ruas jalan tertentu dibatasi melalui jumlah penumpang yang dikenal dengan Three In One, membangun Bus Way dan direncanakan Sub Way.

Yang menjadi pokok permasalahan adalah tidak tertibnya pengguna jalan terutama pengemudi kendaraan angkutan umum seperti Bus Kota, Metro Mini, Mikrolet, Angkot KWK dan Kendaraan Umum lainnya. Dengan alasan kejar setoran mereka saling kejar mendahului, rem mendadak untuk ambil penumpang dan menunggu penumpang di persimpangan jalan , bahkan menunggu penumpang persis dirambu larangan parkir atau stop.

Petugas lalu-lintas kelihatannya sudah kehabisan akal untuk melakukan penertiban, pengemudi bisa taat saat ada petugas, begitu petugas meninggalkan tempat pengemudi mengulangi pelanggaran kembali. Selalu terjadi berulang-ulang dan kucing-kucingan dengan petugas.

Untuk membuat pelanggar jera saya setuju diterapkan hukuman fisik seperti pernah dilakukan beberapa puluh tahun yang lalu, aparat TNI secara berkala diterjunkan ke lapangan untuk membantu penertiban lalu-lintas dengan memberikan hukuman fisik seperti contoh : bagi pelangggar rambu stop dihukum untuk memberi hormat kepada rambu stop beberapa saat atau hukuman push up, lari mengelilingi kendaraannya sendiri atau masuk kekolong mobil.

Dengan budaya malu saya yakin pelanggar lalu-lintas akan berfikir dua kali untuk melakukan pelanggaran dan mereka akan jera.

Monggo dikomentari, wong paham dengan aturan kok tetep melanggar, malah kadang melanggar secara masal, yen ora melanggar ora keduman.... emangnya rebutan diut eh.. duit



Sabtu, 10 Mei 2008

Sahabat Lama

Setelah lebih dari 40 tahun tidak pernah bertemu dan berkomunikasi dengan sahabat lama, akhirnya berkat kemurahan Nya saya dipertemukan dengan sahabat saya dr. Indro Saswanto yang sekarang sudah mapan dan menetap di Jombang, Jawa Timur. Walaupun hanya melalui dunia maya saya masih dapat berkomunikasi dengannya.
Pertemuan melalui dunia maya dengan Mas Indro dalam usia yang sudah sama-sama sepuh, tetapi saya sangat salut dengan beliau, dengan kesibukannya masih sempat menulis kenangan untuk anak cucunya ( padahal belum punya cucu lho? )
Orangnya sangat kreatif, apa yang didengar dan dilihat menjadi inspirasi untuk judul tulisan, komentarpun datang silih berganti dan dialah yang memberi motivasi dan menuntun saya untuk sebuah Blogg ini, saya mau terus belajar biar tidak PDI ( Penurunan Daya Ingat ) Makasih Mas Indro, mudah-mudahan Mbah Suro yang ini menyejukkan dan tidak menyeramkan.